Sabtu, 11 Juni 2011

Kekerasan Terhadap Anak

Secara fitrah Allah telah menganugerahkan rasa kasih dan sayang orangtua kepada anaknya sebagai modal awal untuk melakukan pengasuhan dan pendidikan anak. Namun, tidak jarang orangtua melakukan tindakan-tindakan yang “sedikit keras”, “keras”, bahkan “keras sekali” alias “bengis” dengan alasan “karena sayang kepada anak” atau dengan dalih “mendisiplinkan anak”. Anak kadang dicubit, ditarik tangannya dengan kasar, dijewer, dijambak rambutnya, ditempeleng kepalanya, disundut rokok, dipukul, diikat, dibenturkan ke tembok dan lain-lain ketika tidak menurut perintah orangtuanya.Kekerasan Terhadap Anak dalam Pandangan KapitalisKekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh berbagai macam, antara lain: Orangtua tidak memahami cara-cara mendidik dan mengasuh anak yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, faktor kemiskinan, kurang komunikasi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakharmonisan antar anggota keluarga, ketidaktegasan sistem dalam menerapkan hukuman pada pelaku kekerasan anak, orangtua mabuk dan lain-lain.Bagaikan pahlawan kesiangan, kaum kapitalis, dengan dalih “peduli” terhadap perlindungan anak, memperjuangkan disahkannya UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), juga UU PKDRT. Pengertian kekerasan dalam Pasal 3 UU PA dan diperjelas dalam Bab III pasal 5 UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Pasal ini adalah pasal karet yang bisa ditarik untuk menjerat sasaran. Seseorang anak yang “merasa diperlakuan dengan kekerasan” dalam konteks UU tersebut bisa melapor kepada pihak yang berwajib atau bisa melalui lembaga bantuan hukum untuk memproses perkaranya. Pasal tersebut bisa menjerat orangtua Muslim yang memberikan tindakan yang tegas pada saat anak tidak mau menjalankan hukum-hukum syariah. Ketidaktaatan anak didasarkan pada alasan “kebebasan menentukan pilihan” dan diperkuat lagi pada pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, “setiap anak berhak mendapatkan kebebasan sesuai dengan ‘hukum’ (buatan manusia)”; misal anak tidak mau shalat, padahal usia sudah lebih 10 tahun. Anak tersebut bisa mengadukan bapak atau ibunya atau siapapun pelakunya yang dianggap “memaksa melakukan sesuatu” agar dihukum dengan pidana 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta. Sebab, menurut pengertian UU produk manusia tersebut, orangtua telah melakukan kekerasan.Jelas bahwa adanya UU tersebut akan menghambat orangtua dalam mendidik anaknya dengan nilai-nilai Islam. Padahal orangtua oleh Allah telah diberi kewajiban untuk mempersiapkan anaknya sehingga ketika balig, anak telah siap menerima dan melaksanakan semua beban hukum sebagai mana orangtuanya.Bagaimana sebenarnya Islam memandang persoalan ini?Islam Mengutamakan KelemahlembutanRasul yang mulia, Muhammad saw. telah memberikan teladan yang sangat mengagumkan dalam mendidik anak. Beliau mengutamakan kelemahlembutan. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”Dalam riwayat lain dikemukakan:Suatu hari Rasul sedang memimpin shalat berjamaah dengan para Sahabatnya, Salah satu sujud dalam shalat yang dia lakukan cukup lama waktunya sehingga mengundang keheranan para Sahabat. Setelah shalat berjamaah selesai, salah seorang Sahabat bertanya, “Mengapa begitu lama Rasul bersujud?” Jawab Rasul, “Di atas punggungku sedang bermain cucuku Hasan dan Husain. Kalau aku tegakkan punggungku maka mereka akan terjatuh. Karena itu, aku menunggu mereka turun dari punggungku, baru aku cukupkan sujudku.”Dari hadis di atas Islam/Nabi saw. memberi pelajaran bagi orangtua/pendidik agar dalam melakukan pendidikan mengedepankan sikap lemah-lembut serta penuh cinta, kasih dan sayang. Perlakuan keras/tegas kepada anak akan membawa pengaruh buruk yang luar biasa pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Pengaruh tersebut antara lain anak akan “pandai” berperilaku kasar kepada yang lain, pemarah, tumpul hati nuraninya (menghambat perkembangan moral anak, merusak kesehatan jiwa anak), anak dapat terlibat perbuatan kriminal, anak gemar melalukan teror dan ancaman (anak akan mencari target untuk melampiaskan rasa dendamnya), anak menjadi pembohong, anak jadi rendah diri, menimbulkan kelainan perilaku seksual, mengganggu pertumbuhan otak anak, terhambat prestasinya di sekolah, sering ngompol, takut, tidak mau makan dan lain-lain.Pandangan Islam Terhadap Kekerasan pada AnakDengan kasih-sayang Rasul bukan berarti kehilangan kewibawaan dan kehilangan ketegasan atau lembek ketika memang harus tegas. Tegas tidak identik dengan kasar. Sebagai contoh, Rasul pernah menjewer telinga anak karena tidak amanah. Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mazni ra. yang berkata, “Aku pernah diutus ibuku dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasul. Kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau. Ketika aku mendatangi Rasul, Beliau menjewer telingaku sambil berseru, ‘Wahai Penipu’.”Anak-anak memang perlu kedisiplinan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan, namun bukan berarti terlarang melakukan tindakan fisik. Kedisiplinan diperlukan untuk mendidik anak terbiasa terikat dengan standar-standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka pada saatnya dapat bertanggung jawab di hadapan Allah Swt.Kedisiplinan dibentuk dengan memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran untuk menerapkannya dan semua itu memerlukan proses. Penanaman disiplin pada anak bisa berhasil jika orangtua mengenal karakteristik anak dan mampu membangun komunikasi serta hubungan yang harmonis dengan anak.Dalam mendidik anak diperlukan sanksi (hukuman). Pemberian hukuman merupakan salah satu cara dalam mendidik anak jika pendidikan tidak bisa lagi dilakukan dengan memberi nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun suri teladan.Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍPerintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik di sini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).Alhamdulillah. Allâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Pendidikan Luar Sekolah Sebagai Alternatif

Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).

Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi

Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.

Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah :
  1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
  2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP;
  3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
  4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
  5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
  6. Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah di Riau.
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
  1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
  2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
  3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
  4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
  5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
  1. Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
  2. Pembinaan kelembagaan PLS;
  3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
  4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
  5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.

Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..

Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .

Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.

Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.

PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah..Semoga. 

Sumber : http://re-searchengines.com/isjoni13.html

Mempersiapkan Anak Masuk TK

Bibit (5 tahun) melongok ke kiri dan ke kanan. Kertas origami berwarna merah itu dikibas-kibaskannya. Sementara teman di kiri-kanannya melipat dengan asyik.''Ayo Bibit, lipat ...,'' kata Bu Guru menghampirinya. Dengan sabarnya Bu Guru mengajari Bibit melipat-lipat kertas. Bila ibu guru menjelaskan di depan kelas, Bibit sering kebingungan. Bagai orang tersesat. Tapi, ia tak sendiri. Beberapa temannya juga begitu. Ibu Bibit kesal. Pasalnya, ia tahu benar Bibit sudah bisa banyak hal di rumah. Tapi, mengapa ia tak bisa unjuk kemampuan? ''Gurunya sih, nggak sabar ngasih instruksi. Anak-anak kan jadi bingung,'' keluh Ibu Bibit kepada orangtua lain.
Bu Guru tak sabar? Mungkin. Bu Guru berbicara terlalu cepat? Mungkin juga. Tapi, sejumlah pakar mengingatkan dari sudut lain. Satu hal yang penting dimiliki anak saat mulai masuk sekolah, kata mereka, adalah keterampilan mendengarkan dan menyimak. Keterampilan mendengar dan menyimak amat penting bagi anak prasekolah berusia 3-4 tahun untuk bisa berhasil di sekolah. Anak yang bisa mendengarkan dengan baik, mengikuti instruksi, akan berhasil dalam setting sekolah. Anak prasekolah yang bisa mengikuti instruksi akan lebih siap mendemostrasikan keterampilan akademiknya di TK.

Dengar sampai selesai
Pada usia prasekolah anak biasanya memang sulit mendengarkan instruksi, pembicaraan dengan baik. Mengapa? Itu karena rentang perhatian mereka masih rendah. ''Kemampuan melihat, mendengar, dan menyimak anak usia prasekolah sekitar 4 sampai 5 menit saja, setelah itu mereka akan kembali asyik dengan dunia mereka,'' kata psikolog Rahmi Dahnan.
Menurut psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati itu, bila ingin anak menangkap pembicaraan 90 persen atau 100 persen berarti metode bercerita kita harus mengikuti tahapan perkembangan kognitifnya. ''Yakni, tingkat konsentrasi si anak itu sendiri,'' tambah dia. Karena itu, Rahmi menyarankan, bila ayah bunda ingin sang anak mendengarkan ataupun menyimak apa yang dibicarakan sebaiknya bicara tidak terlalu cepat. ''Berbicara dengan anak itu sebaiknya pelan-pelan jangan terburu-buru, karena semakin cepat kita berbicara, maka mereka akan semakin sulit mencerna apa yang kita bicarakan,'' tuturnya.

Kecepatan orang berbicara berbeda. Meski guru dibekali pengetahuan berbicara di depan anak usia muda, namun kerap kali anak-anak sulit memahami ucapan 'orang baru'. Untuk itu orangtua sebaiknya mempersiapkan atau mengajarkan anak untuk bisa mendengarkan, menyimak pembicaraan orang dengan baik sedari usia prasekolah. Ada berbagai cara pembiasaan ini.
Salah satunya, Rahmi mencontohkan, saat berjalan-jalan dengan anak di kebun binatang. Bila anak bertanya tentang jenis-jenis burung dan lain sebagainya, maka buat kesepakatan terlebih dahulu sebelum menjawab ataupun menjelaskan pertanyaan mereka. ''Ayah/Ibu akan menjelaskan tapi kalian jangan memotong pembicaraan sebelum selesai,'' tutur Rahmi. Dan, beritahukan juga konsekuensi bila ia melanggar kesepakatan tersebut. Apa konsekuensinya? Ayah atau ibu tak akan melanjutkan penjelasan kepada mereka.

Bertahap dan berulang
Dengan cara seperti itu, jelas Rahmi, anak akan belajar mendengarkan dan menyimak dengan baik. Namun, terkadang orangtua sering melakukan kesalahan. Misalnya, tidak mengupayakan komunikasi yang baik. Komunikasi yang buruk itu yaitu metode atau cara penyampaiannya tidak tepat. Contohnya berbicara dengan nada tinggi ataupun berbicara terlalu cepat sehingga anak sulit mencerna apa yang sebenarnya yang di sampaikan.

''Sampaikan penjelasan kita dengan bertahap atau sepotong-sepotong,'' kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini. Selain itu, orangtua juga harus memberikan penjelasan dengan berulang-ulang agar anak selalu mengingatnya. Dengan kedua cara itu, anak akan lebih mudah mengerti. Tapi, Rahmi mengingatkan kesalahan yang kerap dilakukan orangtua. ''Jangan paksa anak untuk terus mendengarkan pembicaraan kita dalam waktu yang cukup lama,'' kata dia. Karena itu, sarannya, bila anak tak ingin mendengarkan sebaiknya biarkan sejenak setelah itu barulah orangtua berusaha menjelaskan kembali.
''Beri anak kesempatan untuk berbicara dan sebaiknya orangtua mendengarkan juga apa yang mereka bicarakan.''Selain metode atau cara penyampaian yang baik faktor lingkungan juga berpengaruh dalam penerimaan pesan yang disampaikan pada anak. Rahmi mengingatkan para ayah bunda agar menjelaskan sesuatu kepada anak di lingkungan yang ramai. Sebab, fokus anak akan lebih rentan terbagi di banding pesan yang sama disampaikan di tempat yang tidak terlalu ramai.
Belajar Menyimak Lewat 3 Cara
Orangtua bisa melatih anak mendengarkan dan menyimak dalam berbagai kesempatan setiap hari. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut:

-Tugas sehari-hari
Mendengarkan instruksi dan mengikutinya adalah keterampilan yang dipelajari. Gunakan tugas-tugas rumah tangga sebagai kesempatan melatih mendengarkan dan mengikuti instruksi. Awali dengan tugas sederhana satu langkah. Lalu dua, dan tiga langkah. Satu langkah: ''Ambillah sepatumu.'' Dua langkah : ''Ambil sepatumu dan masukkan ke dalam kamarmu.'' Tiga langkah: ''Ambil boneka di atas meja itu, pergi ambil sepatumu, lalu masukkan keduanya di dalam kamarmu.''

-Mendongeng
Anak usia prasekolah umumnya punya cerita favorit. Berpura-puralah lupa ceritanya dan minta mereka menyampaikan cerita itu pada Anda. Gunakan antusiasme cerita ini untuk membangun keterampilan mendengarkan. Ceritakan tentang masa prasekolah Anda. Minta ia mengulangi cerita itu. Bicarakan tentang detail spesifik untuk mendorong anak mendengar lebih teliti. Kenali anak Anda, sediakan waktu untuk mendogeng cerita yang cocok dengan kepribadian mereka.

-Permainan
Anak usia prasekolah belajar cara memainkan permainan dengan mendengarkan dan mengamati. Gunakanlah permainan dengan papan seperti ular tangga. Bacalah dan jelaskan aturannya pada si kecil. Ini memberikan kesempatan pada anak untuk mempraktikkan keterampilan mendengarnya. Sebagian besar anak usia prasekolah akan harus mendengar aturan secara berulang untuk mengingat dan memahaminya.

Sumber: Republika

Pendidikan Luar Sekolah

Langsung ke: navigasi, cari
Pendidikan luar sekolah (bahasa Inggris: Out of school education) adalah pendidikan yang dirancang untuk membelajarkan warga belajar agar mempunyai jenis keterampilan dan atau pengetahuan serta pengalaman yang dilaksanakan di luar jalur pendidikan formal (persekolahan).

Karakteristik Pendidikan Luar Sekolah:

  1. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Subtitute dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C
  2. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Supplement pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training
  3. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Complement dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh di dalam pendidikan sekolah. Contohnya: Kursus, try out, pelatihan dll

Memperkenalkan Ibadah Puasa Pada Anak

Tak lama lagi umat muslim akan memasuki bulan suci Ramadhan. Berpuasa di bulan itu, hukumnya adalah wajib. Tak terkecuali anak-anak.

Merujuk ajaran yang memerintahkan orangtua agar menyuruh anak-anaknya shalat mulai usia tujuh tahun, Pakar Pendidikan Anak Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam mengatakan, dari perintah shalat, maka dapat disamakan dengan puasa dan haji.

Sebenarnya anak sudah bisa diperkenalkan dengan berbagai kegiatan agama termasuk berpuasa sejak usia batita (bawah tiga tahun). Perkenalan terhadap kegiatan puasa mulai dari kesiapan, pemahaman hingga memahami rutinitas.

Kemudian, ketika menginjak usia empat tahun, anak sudah mulai bisa diajarkan berpuasa dalam arti menahan lapar dan haus untuk waktu beberapa jam. Umumnya, pada anak usia lima tahun sudah mampu berpuasa hingga siang hari.

Hal tersebut bertujuan untuk mengajarkan anak mengenai pemaknaan puasa tahap awal. Sehingga ketika anak menginjak usia sekolah dasar (SD), sudah bisa memperdalam pemaknaan puasa. Mereka juga sudah bisa diharapkan berpuasa sehari penuh.

Pada anak usia SD juga sudah bisa diberi pengertian mengenai makna berpuasa dari aspek sosial. Misalnya, puasa menumbuhkan empati. Agar seseorang mengetahui bagaimana keadaan orang lain yang kurang beruntung tidak dapat makan.

Tips Mengenalkan Berpuasa
  • Perkenalkan kepada anak kegiatan beragama, termasuk berpuasa, sejak usia dini. Usia batita dianggap paling pas membiasakan anak dengan kesiapan, pemahaman sederhana dan rutinintas puasa.

  • Berikan pemahaman sederhana yang dapat dikonkritkan sementara anak masih berusia balita. Sesuaikan dengan pemikiran anak yang masih sulit mengembangkan sesuatu yang bersifat konseptual.

  • Jangan memberatkan anak dengan memberlakukan puasa diatas kemampuannya. Jeli dalam melihat kemampuan dan kondisi anak. Jika anak baru mampu berpuasa sekitar 2-3 jam, biarkan untuk beberapa waktu. Secara perlahan, tambah waktu anak berpuasa.

  • Berikan anak penghargaan ketika dia mampu berpuasa. Penghargaan tidak selalu berbentuk materi, pujian juga dapat memacu anak untuk selalu meningkatkan kemampuannya.

  • Senantiasa lakukan pendekatan persuasif terhadap anak disertai pemahaman dan kontrol yang disesuaikan dengan usia. Selamat Berpuasa! (republika)

Ajari Anak Bagian Tubuh dan Fungsinya

Pendidikan mengenai tubuh adalah hal kecil yang seringkali terlupakan orangtua, padahal sangat penting bagi anak.

Banyak anak meranjak dewasa hanya mengetahui sedikit tentang tubuh mereka bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Jika diabaikan, hal tersebut dapat menjadi pemicu masalah kesehatan di masa yang akan datang.

Jauh sebelum anak belajar bagian tubuh melalui pelajaran biologi di bangku sekolan menengah pertama (SMP), orangtua bisa menjadi guru pertama yang terbaik dan paling informatif.

Anda bisa menyebutkan satu per satu bagian tubuh. Kemudian, tindakan apa yang harus dilakukan serta bagaimana anak mengatur bagian tubuh tersebut. Sayangnya, yang sering menjadi penghalang justru tidak semua orang tua tahu bagian tubuh mereka sendiri.

Jika Anda termasuk orangtua semacam itu, jangan malu. Tidak ada satupun orang yang terlahir dengan pengetahuan tentang bagian tubuhnya.

Langkah awal untuk mengajari anak adalah dengan ajarkan diri anda lebih dahulu, atau yang lebih baik belajarlah bersama anak anda. Kegiatan itu bisa mengajarkan anak akan pepatah lama "tidak ada kata terlambat untuk belajar sesuatu hal yang baru".

Orangtua pada umumnya memfokuskan untuk memulai dari dalam tubuh. Untuk mengajarkan suatu hal pada anak hindari penggunaan kata-kata yang terlalu rumit dan ekstrim seperti menjijikan atau menakutkan.

Anda tidak ingin anak anda takut untuk mempelajari bagian tubuh. Tunujukanlah pada mereka tubuh adalah sesuatu yang lucu dan mengagumkan.

Pilihlah sumber-sumber seperti buku dengan isi yang ringan untuk menjadi bahan ajar. Jika anak terlihat bosan dan kecewa, sisihkan dahulu buku yang pertama dan cobalah untuk mencari buku lain yang tidak terlalu rumit.

Sebagian anak mungkin akan santai dan senang mempelajari bagian dalam tubuh, tapi ada juga yang pusing bahkan pingsan melihat bagian dalam tubuh. Awasi anak dengan baik dan jangan tertawakan atau mengkritik anak jika mereka menampakan respon yang negatif.

Lanjutkan Dengan Bagian Tubuh Pribadi

Hal lain yang ada di pikiran orang tua adalah bagaimana memperlakukan bagian tubuh yang pribadi. Jangan pernah menafikan bagian itu. Cobalah dengan cara terbaik untuk menjelaskan yang sesungguhnya.

Katakan bahwa bagian tubuh tersebut adalah alami, mempunyai nama yang khas dan mempunyai fungsi masing-masing. Jika hal ini sulit dilakukan, coba untuk berlatih terlebih dahulu tanpa anak, sehingga anda dapat menyiapkan pikiran Anda.

Ingatlah, akan sangat mungkin anak anda merasa tidak nyaman dan bahkan memberikan respon atau konotasi negatif terhadap bagian tersebut.

Coba hindari kemungkinan itu, dengan menjelaskan bagian tubuh pribadi sewajarnya dan menarik. Pada waktu yang sama jelaskan juga pada mereka bahwa tidak pantas membicarakan bagian tubuh pribadi dengan orang lain, juga untuk menunjukan dan membiarkannya disentuh oleh orang lain. (saferchild.or/cr1/ri)


Tips
  • Salah satu cara terbaik untuk memulai mengajarkan anak mengenai bagian tubuh, yaitu dengan menggambar tubuh mereka di kertas.
  • Selanjutnya Anda dan anak dapat menggambar bagian tubuh, menamai dan membahasnya mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan pada masing-masing bagaian tubuh tersebut.
  • Anak sudah besar mampu menggambarkan kerangka atau membedakan wanita dan pria lalu mewarnainya dan memberikan nama pada bagian tubuh.
  • Anda juga dapat seolah-olah membedah tubuh per bagian. Sehingga dapat membahas bersama anak bagian mana yang vital bagi tubuh dan bagaimana memperlakukannya sebaik mungkin. (Republika)

Tips Mengajarkan Anak Keersihan

Tips Mengajarkan Anak Kebersihan
Kiat-kiat yang harus digunakan untuk mengajak seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
  1. Gunakan kata-kata yang lembut dan tenang dalam meminta mereka melakukan kegiatan kebersihan. Jangan mengancam atau merendahkan.
  2. Anak cenderung meniru tindakan yang dilakukan orangtua. Jadi, hindari membuang sampah sembarangan atau meludah seenaknya.
  3. Buatlah kegiatan menjaga kebersihan sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membuatnya nyaman.
  4. Buat penyesuaian yang diperlukan ketika mengajak anak membersihkan diri. Ajak anak untuk menyikat gigi dengan rasa yang disukainya. Atau, pakailah sampo yang tidak perih dimata dan wangi untuk menarik perhatiannya.
  5. Memotong kuku, membersihkan telinga dan hidung juga tak bisa dipisahkan dari kegiatan menjaga kebersihan tubuh.
  6. Untuk anak usia sekolah dasar, orangtua bisa mulai membiasakan anak untuk mencuci sendiri alat makannya setiap kali selesai makan dan minum.
  7. Untuk menjaga kebersihan rumah, bagilah tugas sesuai dengan usia, sifat dan ketrampilan anggota keluarga. Misalnya, anak usia 3 tahun dapat membantu mengelap meja atau kursi, anak usia 7 tahun bertugas membuang sampah dan sebagainya.
  8. Jangan lupa bersihkan kandang dan binatang peliharaan secara teratur. Periksakan juga kesehatan binatang peliharaan secara berkala ke dokter hewan.
  9. Beri penghargaan dan perhatian bagi setiap anggota keluarga telah menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Misalnya, peluk anak Anda dan ucapkan pujian atas keahlian barunya mencuci gelas. Ucapkan pula terimakasih atas bantuannya. (republika)

mengenal paud

auh sebelum konsep pendidikan anak usia dini (selanjutnya ditulis PAUD) ditemukan, dunia pendidikan kita sesungguhnya telah mengenal konsep
 pendidikan anak prasekolah. Dasar pemikirannya banyak mengadopsi
 tokoh-tokoh pendidikan dari Islam dan Barat yang mengupas persoalan pendidikan anak prasekolah. Pendidikan anak prasekolah sendiri merupakan konsep pendidikan yang mencoba menggali dan mencari model pendidikan yang tepat untuk anak di usia dini.
Menurut Soemiarti (2003) pendidikan prasekolah adalah hal yang menarik perhatian orangtua, masyarakat maupun pemerintah sebagai pengambil keputusan. Mereka menyadari bahwa kualitas masa anak-anak (early chilhood) termasuk masa prasekolah merupakan cermin kualitas bangsa di masa yang akan datang. Pandangannya jelas menunjukkan akan betapa pentingnya pendidikan bagi anak yang membutuhkan bimbingan dari guru dan orangtua dalam mewarnai hubungan anak dengan teman sebaya dan lingkungan sosialnya.
      
Penyelenggaraan pendidikan anak prasekolah telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2 Tahun  1989 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan anak Prasekolah. Di sahkannya UUSPN tersebut oleh pemerintah sebagai bentuk kepeduliannya akan arti masa prasekolah (3-6 tahun) yang merupakan pijakan awal untuk mengenalkan pendidikan kepada anak usia dini.
Lebih dari lima belas tahun konsep pendidikan anak prasekolah berjalan hingga akhirnya menemukan cara pandang baru tentang pendidikan anak yaitu dengan konsep PAUD pada tahun 2003. Gagasan PAUD pada dasarnya ingin mempertajam kembali konsep pendidikan anak prasekolah sebagai pandangan awal sesuai dengan konteks jaman.
PAUD menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) dijelaskan bahwa PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lanjut.
Sederhananya konsep PAUD adalah konsep pendidikan yang ingin menawarkan kepada masyarakat akan pentinganya karakteristik dan perilaku anak usia dini. Selain itu, juga ingin berbagi beban dalam menyikapi berbagai persoalan yang biasa muncul dan dihadapi orangtua baik di sekolah maupun di rumah berkaitan dengan gangguan belajar yang dialami anak usia dini.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, konsep PAUD saat ini telah menarik perhatian para peminatnya yang berkecimpung di lapangan
 pedagogis. Lebih dari itu berdasarkan hasil penelitian penulis di Griya Bukit
 Jaya Gunungputri kab. Bogor dari bulan Oktober (2006) - Juli (2007)
 berkaitan dengan Pola Asuh Orangtua terhadap motivasi belajar anak usia
 dini menunujukkan bahwa pola asuh orangtua sangat mempengaruhi motivasi belajar anak usia dini.
Pentingnya pola asuh orangtua terhadap anak usia dini mengandung arti bahwa pendidikan dalam keluarga merupakan pondasi bagi perkembangan pribadi anak. Orangtua yang mampu menyadari akan peran dan fungsinya yang demikian strategis akan mampu menempatkan diri secara lebih baik dan menerapkan pola pendidikan secara lebih tepat sesuai dengan kebutuhan anak.

Rabu, 08 Juni 2011

Reformulasi Manajemen PAUD

Tiga substansi dasar yang menjadi patologi pendidikan yang sampai saat ini yang belum juga belum teratasi. Pertama, buruknya mutu pendidikan juga dapat dilihat dari hasil pengembangan sumber daya manusia yang dinyatakan dalam Human Development Index (HDI).HDI merupakan indeks komposit yang diukur dari beberapa komponen, meliputi pendidikan, kesehatan dan ekonomi. HDI Indonesia tergolong rendah, berada di bawah Malaysia, Thailand, dan Filiphina. Penelitian yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), prestasi siswa Indonesia di bidang matematika mendekati level rendah, sedangkan Malaysia pada level Menengah menuju level tinggi, dan Singapura berada pada level tingkat lanjut.
Kedua, cerminan sikap atau watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan). Ketiga, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud.
Ketiga hal itu merupakan sasaran utama yang harus diwujudkan dalam pembangunan pendidikan dalam perspektif makro. Kenyataannya, sejak Indonesia merdeka sampai saat ini belum dapat terwujud secara optimal. Dalam konteks ini, pembangunan pendidikan merupakan sesuatu prioritas yang harus dipikirkan dan direncanakan bagaimana formulasi yang tepat. Dengan demikian, pendidikan mau tidak. mau akan menjadi pusat perhatian oleh seluruh elemen bangsa untuk dikaji kembali baik perencanaannya, pelaksanaannya, dan pengawasannya yang kemudian diartikulasikan dengan istilah manajemen.
Pengelolaan lembaga pendidikan tidak bisa dikelola dengan waktu sisa, manajemen tukang cukur, dan kemampuan minim, meminjam falsafah Jawa “Bondo Bahu Pikir Lek Perlu Sak Nyawane”, artinya kita dalam berjuang perlu pengorbanan bukan hanya angan-angan tanpa mau memikirkan keuatan materi untuk berjuang. Pemberdayaan sumber daya manusia merupakan kunci utama dalam meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan. Peserta didik akan memiliki pribadi yang baik bila diasuh oleh pendidik yang memiliki kepribadian yang baik pula, murid akan memiliki keinginan belajar yang tinggi bila dididik oleh pendidik yang mempunyai animo tinggi untuk belajar, anak akan memiliki keterampilan bila dibimbing oleh pembimbing yang cekatan dan tanggap lingkungan, anak dapat hidup berdisiplin, bersih, tertib bila dia dibina oleh pendidik yang memiliki pola hidup teratur, demikain seterusnya.
Pengelolaan pendidikan bukanlah mengelola sebuah tempat usaha barang, melainkan mengelola sumber daya manusia dengan peradaban dimasa mendatang. Suatu bencana besar ketika manusia mengelola pendidikan hanya dilihat dari kacamata pribadi, orang yang demikain ini termasuk melemahkan generasi mendatang. Begitui pula bagi orang yang mengembangkan pendidikan hanya mengandalkan kekuasaan atau power semata. Untuk itulah dibutuhkan formula yang tepat dalam mengatur segala permasalahan manajemen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Pertama, pengelolaan PAUD selama ini terlalu banyak seninya dibanding dengan ilmunya, sehingga gaya manajemen yang dilakukan lebih bersifat try and error. Kedua, penerapan manajemen “gotong royong” artinya semua orang melakukan semua pekerjaan, tidak ada pembagian kerja yang tegas dan jelas, sehingga proses manajemen tidak berlangsung secara efektif dan efisien. Bahkan sering terjadi benturan antara satu unit dengan unit lainnya, ini menyebabkan pendayagunaan sumberdaya organisasi tidak secara sinergis dan banyak pemborosan. Dalam hal ini yang terjadi adalah sama-sama bekerja, tetapi bukan kerjasama. Ketiga, gaya manajemen tukang cukur, yaitu satu orang melakukan semua pekerjaan, mulai dari membuka kios, menyapu, memotong rambut, menutup kios, dan mengelola keuangan sekaligus. Dalam organisasi banyak orang yang “merasa” dirinya mampu dalam segala hal (ngabehi) dan tidak memberikan porsi pekerjaan kepada orang lain. Akibatnya organisasi yang semestinya dapat menjalankan beban pekerjaan yang lebih banyak, justru tidak dapat melakukan pekerjaan karena tersentralisasi di tangan beberapa orang saja, sedang yang lain justru kurang pekerjaan. Keempat, adalah manajemen “sungkanisme”, yaitu suatu manajemen yang tidak asertif. Budaya sungkan (segan) menegur kesalahan teman dan budaya marah kalau ditegur teman membuat organisasi berjalan kesana-kemari tak tentu arah, sehingga tak bisa mencapai tujuan yang dikehendaki.
Menata Manajemen
Salah satu pendekatan baru dalam perencanaan publik yang sedang digalakkan adalah perencanaan partisipatif, yakni dengan melibatkan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, sampai pemanfaatan program yang direncanakan. Hal ini dilatari oleh asumsi bahwa orang yang merasa terlibat dalam proses sejak perencanaan sampai tahap akhir merasa ikut memiliki dan ikut bertanggungjawab (sense of responsibility and sense of belongingness) terhadap keberhasilan program. Dalam hal ini dirasa perlu melibatkan para tokoh agamam masyarakat, dan orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi cukup.
Apabila tahap perencanaan telah dilaksanakan, maka langkah selanjutnya adalah pengorganisasian, yakni menyusun dan merangkai berbagai unsur sumberdaya organisasi dan lingkungan yang ada sehingga bisa dicapai hasil yang maksimal. Dalam hal ini perlu kita hindari merangkai dua bahan atau lebih yang saling bertentangan atau kontradiktif sehingga akan saling melemahkan. Justru yang kita cari dan rangkai adalah unsur-unsur yang bisa saling mendukung dan menunjang, sehingga hasilnya akan lebih memperkuat kebersamaan unsur-unsur tersebut, atau yang biasa disebut dengan “sinergis”
Kelemahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat kita dalam mengorganisir sumber daya manusia PAUD adalah menentukan orangnya terlebih dahulu, baru kemudian organisasinya. Padahal, tahap pengorganisasian yang benar adalah menentukan pekerjaan apa saja yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi, lalu unit-unit mana yang melakukan pekerjaan tersebut, kemudian disusun struktur organisasi yang menempatkan masing-masing unit tersebut dalam rangkaian struktur organisasi yang sinergis, lalu ditentukan kualifikasi tenaga-tenaga yang diperlukan untuk menangani masing-masing unit. Baru pada tahap terakhir adalah menentukan personal-personal yang memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menangani pekerjaan di masing-masing unit.
Dalam menempatkan personal hendaknya diingat prinsip menempatkan orang pada tempat yang tepat sesuai dengan kompetensi dan kualifikasi pada waktunya (the right man in the right place and right time). Hendaknya dihindari menempatkan personal berdasarkan faktor suka atau tidak suka (like and dislike).
Kelemahan lain dalam pengorganisasian PAUD adalah mekanisme hubungan interaksi antar segenap pihak dalam lembaga. Pengorganisasian pada dasarnya menempatkan masing-masing personal dalam tata hubungan yang sistematik, sehingga jelas siapa mengerjakan apa dan bertanggungjawab kepada siapa.
Kedua, adalah ukuran keberhasilan kerja yang tidak jelas. Hal ini erat kaitannya dengan budaya kita yang “just do it” atau pokoknya sudah melakukan. Akibatnya proses pengukuran (kriteria) keberhasilan kinerja personal tidak dilakukan atau kalau dilakukan maka pengukurannya tidak objektif.
Ketiga, tiadanya norma tertulis. Kelemahan umum dari lembaga PAUD adalah organisasi berjalan secara informal dan tak tertulis meskipun itu menyangkut organisasi formal yang perlu landasan tertulis. Dalam aturan tertulis, perlu diatur mekanisme hubungan organisasional antar personal, hak dan kewajiban masing-masing personal, arus pekerjaan dan tanggungjawab serta sanksi-sanksi dan aturan-aturan lain yang diperlukan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan PAUD. Pertama adalah, iklim kebersamaan yang sehat. Organisasi adalah kerjasama antar dua orang atau lebih sehingga keberhasilan organisasi adalah berkat kerjasama beberapa orang, dan bukan atas hasil kerja seseorang atau sekelompok orang yang mengaku-ngaku paling berjasa. Kedua adalah, keadilan bagi pendidik. Seorang pendidik yang merasa diperlakukan tidak adil akan turun kinerjanya. Rasa tidak adil ini bisa muncul dalam berbagai peluang, antara lain dalam pengangkatan jabatan yang tidak terbuka, atau perbedaan dalam pemberian ganjaran (reward) dan sanksi (punishment). Ketiga adalah, penghargaan terhadap kinerja pendidik. Penghargaan disini tidak hanya berupa materi melainkan juga penghargaan yang berupa immaterial, seperti pujian atau peningkatan status.
Dalam menata PAUD disamping adanya Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), Actuating (pelaksamaam), juga dipersyaratkan adanya Controlling (pengendalian) yang kemudian disingkat dengan POAC. Tanpa adanya pengendalian, maka jalannya organisasi tidak akan berjalan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan. Lantas, yang menjadi tujuan dasar dari pengendalian, Pertama adalah, apakah jalannya organisasi telah ada pada jalur yang benar? Kedua adalah, apakah target bisa dicapai secara kuantitas, kualitas, dan dalam jangka waktu tertentu?. Pertanyaan pertama mengacu pada apakah cara melakukan pekerjaan sesuai dengan yang telah ditentukan dalam jabaran kerja (job description). Sedang yang kedua mengacu pada apakah hasil pekerjaan (out-put) yang ditetapkan bisa dicapai sesuai denga target waktu, jumlah dan kualitas.
Untuk itulah, perlu ditetapkan siapa yang akan melakukannya? Yayasan penyelenggara PAUD memiliki hak dan fungsi sebagai pengendali kegiatan belajar mengajar PAUD. Namun permasalahannya adalah, bahwa kebanyakan personal yang menjadi pengurus bidang pendidikan kurang atau tidak menguasai apa yang seharusnya dilakukan oleh lembaga penyelenggara. Hal ini dilatari oleh kurangnya kualitas SDM, juga seringnya menempatkan personal yang tidak tepat pada suatu jabatan dalam organisasi.
Pengendalian pertama yang harus dilakukan adalah pengendalian bagaimana pamong PAUD melakukan pekerjaan mendidik anak. Pengendalian ini dilakukan secara berkala dalam rangka untuk dapat memperbaiki kinerja pamong. Pengendalian lainnya yang tak kalah pentingnya adalah pengendalian dalam bidang keuangan. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mencurigai tindak penyelewengan, melainkan dimaksudkan untuk mengantisipasi kesulitan-kesulitan masalah keuangan.
***
Hemat penulis, Dalam kaitannya dengan kompleksitas kelembagaan PAUD, maka yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah bentuk kelembagaan PAUD (TK,KB,TPA,TPG). Selanjutnya adalah merangkai lebih lanjut sumberdaya organisasi, baik manusianya maupun non manusianya dalam jaringan tata kerja organisasi PAUD struktural, kualifikasi tenaga yang menanganinya, baru kemuudian merekrut tenaga yang memenuhi kualifikasi yang ditentukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengeorganisasian. Langkah lain yang tidak bisa ditinggalkan bila kita akan membentuk PAUD unggulan adalah merangkai kerjasama dengan berbagai pihak dalam tatanan jaringan kerja yang saling menguntungkan.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan dalam menjalankan PAUD. Pertama adalah adanya iklim kebersamaan yang sehat. Kerjasama antar dua orang atau lebih sehingga keberhasilan lembaga adalah berkat kerjasama beberapa orang, dan bukan atas hasil kerja seseorang atau sekelompok orang yang mengaku-ngaku paling berjasa. Kedua adalah, keadilan bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil akan turun kinerjanya. Rasa tidak adil ini bisa muncul dalam berbagai peluang, antara lain dalam pengangkatan jabatan yang tidak terbuka, atau perbedaan dalam pemberian ganjaran (reward) dan sanksi (punishment).dan Ketiga adalah, penghargaan terhadap kinerja pendidik. Penghargaan disini tidak hanya berupa materi melainkan juga penghargaan yang berupa immaterial, seperti pujian atau peningkatan status.

Senin, 06 Juni 2011

TAK LAGI


TAK LAGI


Secerah cahaya bintang
Hiasi langit malam yang semakin suram
Kesunyianpun kian mencekam
Seolah menerka dan menelanku
Dalam larut dan dinginnya malam yang larut
Membelenggu jiwa yang rapuh ini…..

Lalu kemana perginya sang bulan??
Bahkan angin pun tak lagi bersahabat
Apakah semua tak lagi mendengarku……??
Dan kemana kini aku harus melangkah
Hilangkan kepedihan……
Membawa remuk jiwaku yang semakin tenggelam




Sheptiani
09102241014
PLS A

hak dan kewajiban warganegara

A. Contoh Hak Warga Negara Indonesia
  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum
  2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
  3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
  4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
  5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
  6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh
  7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku
B. Contoh Kewajiban Warga Negara Indonesia
  1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh
  2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda)
  3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya
  4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara indonesia
  5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik.

Sabtu, 04 Juni 2011

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini





Pendidikan anak usia dini (PAUD) yang baik dan tepat dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depan, begitulah pesan yang disampaikan Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management, Jumat, 11 Februari 2011 lalu.

Menurut Byrnes, PAUD akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. "Saat ini, beberapa taman kanak-kanak sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia dini," jelas Byrnes.
Di lembaga pendidikan anak usia dini, anak-anak sudah diajarkan dasar-dasar cara belajar. "Tentunya di usia dini, mereka akan belajar pondasi-pondasinya. Mereka diajarkan dengan cara yang mereka ketahui, yakni lewat bermain. Tetapi bukan sekadar bermain, tetapi bermain yang diarahkan. Lewat bermain yang diarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi, problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa."
Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. "Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar," jelas Byrnes.
Contoh, bermain peran sebagai pemadam kebakaran, anak tidak akan mendapat apa-apa jika ia hanya disuruh mengenakan busana dan berlarian membawa selang. Tetapi, guru yang mengerti harus bisa mengajak anak menggunakan otaknya saat si anak berperan sebagai pemadam kebakaran, "Apa yang digunakan oleh pemadam kebakaran, Nak? Bagaimana suara truk pemadam kebakaran yang benar? Apa yang dilakukan pemadam kebakaran? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan ditanyakan untuk memancing daya pikir si anak," contoh Byrnes.
Selama 7 tahun meneliti pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes juga menemukan sebagian orangtua memiliki konsep bahwa anak-anak di usia itu sudah bisa berpikir. "Anak-anak usia dini belum bisa berpikir dengan sempurna seperti orang dewasa. Anak-anak usia tersebut harus dipandu cara berpikir secara besar, cara mencerna, dan berdaya nalar. Sayangnya, beberapa lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia belum mengajarkan mengenai multiple intelligences. Ini kembali ke perkembangan latar belakang ahli didiknya," ungkap Byrnes.
Apa perbedaan anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan usia dini berkualitas dengan anak-anak yang tidak belajar? "Di lembaga pendidikan anak usia dini yang bagus, anak-anak akan belajar menjadi pribadi yang mandiri, kuat bersosialisasi, percaya diri, punya rasa ingin tahu yang besar, bisa mengambil ide, mengembangkan ide, pergi ke sekolah lain dan siap belajar, cepat beradaptasi, dan semangat untuk belajar. Sementara, anak yang tidak mendapat pendidikan cukup di usia dini, akan lamban menerima sesuatu," terang Byrnes yang pernah mendapat gelar Woman of the Year dari Vitasoy di Australia. "Anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini yang tepat, akan seperti mobil yang tidak bensinnya tiris. Anak-anak yang berpendidikan usia dini tepat memiliki bensin penuh, mesinnya akan langsung jalan begitu ia ada di tempat baru. Sementara anak yang tidak berpendidikan usia dini akan kesulitan memulai mesinnya, jadi lamban. Menurut saya, pendidikan anak sudah bisa dimulai sejak ia 18 bulan," tutup Byrnes.

Pendidikan Multikultural


BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan porsi pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

B.    Implementasi dalam Dunia Pendidikan
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
  • Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
  • Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
  • Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
  • Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.

C.    Perjalanan Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan Multikultural
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.
Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada. Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sd sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakt induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual".
Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:
·         Content integration mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
·         The Knowledge Construction Process Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
·         An Equity Paedagogy Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
·         Prejudice Reduction Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka
·         Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;
1.       Peserta didik dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
2.      Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3.      Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
4.      Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu:
·         Pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme.
·         Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.
·         Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya.
·         Kelima, pendidikan multicultural sebagai pengalaman moral manusia.

D.   Wacana Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi "dendam sejarah" di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
·         Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
·         Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
·         Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
·         Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
·         Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1)      Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2)     Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3)     Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4)     Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5)     Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.

E.    Kurikulum Multikultural
Tilaar (2005) mengupas model pendidikan multikultural di beberapa negara. Tidak ada satu model pendidikan multikultural yang paling cocok untuk suatu bangsa atau komunitas. Model pendidikan multikultural di Indonesia harus berdasar Pancasila yang telah disepakati para pendiri bangsa sebagai jaminan NKRI.
Pendidikan multikultural bertujuan mengembangkan manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokratis, dan empati terhadap orang lain. Manusia cerdas menghargai diri sendiri dan orang lain dari berbagai latar belakang berbeda.
Model pendidikan multikultural mencakup kurikulum yang resmi serta the hidden curriculum (kurikulum tak tertulis dan terencana tetapi proses internalisasi nilai, pengetahuan, dan keterampilan justru terjadi di kalangan peserta didik). Dalam kurikulum resmi, pendidikan multikultural sebaiknya diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya wawasan multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru dan peserta didik.
Model kurikulum multikultural mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan, dan keterampilan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Muatan nilai, pengetahuan, dan keterampilan multikultural ini bisa didesain sesuai tahapan perkembangan anak dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai multikultural perlu dirancang dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya internalisasi nilai-nilai.










BAB III
PENUTUP

Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah Swt. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.
Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah gegap gempita lagu nyaring "tentang kurikulum berbasis kompetensi", harus menyelinap dalam rasionalitas kita bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mengajarkan "ini" dan "itu", tetapi juga mendidik anak kita menjadi manusia berkebudayaan dan berperadaban. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kebudayaan yang beragam tersebut.
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.